Wednesday, November 24, 2010
Ketika Aku mencintaimu
Dengan tak sering menghubungimu,
tak juga mengirim pesan untuk menanyakan kabarmu.
Walau aku tak terbiasa,
Namun inilah cara terbaik mencintaimu.
Aku mencintaimu dari kejauhan,
Bukan karena aku membencimu,
Justru karena aku sangat mencintaimu,
Dan aku ingin menjagaku, juga menjagamu,
Menjaga tulusnya hatimu, juga menjaga kesucian hatiku.
Inilah caraku mencintaimu,
Dalam diamku,
Dalam ketulusanku,
Dalam cara yang dibenarkanNya,
Meski sulit,
Meski berat,
Namun ku tahu ini pilihan terbaik agar aku tak terlalu berharap.
Karena berharap hanya pantas pada Sang Pemberi Kehidupan,
Karena berharap hanya pantas digantungkan pada Sang Pengatur Detak Jantung,
PadaNya kuharap Dia akan menjagamu untukku,
PadaNya kutitipkan hatimu,
Biarlah ku hanya bisa menyapamu lewat senandung doa,
Agar untukmulah segala kebaikan,
Agar bersamamulah segala keindahan.
~untuk kamu yang selalu ada dalam pikiran, hati, dan setiap doa-doaku. :)
Saturday, January 30, 2010
Tunggu Aku. Maukah?
Hey, Kamu.
Aku melangkah dalam cemas menujumu, di malam yang terasa sepi dan dingin, saat waktu seolah mempersulit perjumpaan kita. Aku membawa hujan di sela-sela jemariku, menggenggamnya erat untuk kemudian kutebarkan agar kita dapat bercanda di bawah derasnya. Dibalut hangatnya jaket merah, saat itu, aku melihat langit senja membias di matamu, di balik kacamata, dan kutemukan keteduhan di sana. Juga kedamaian di setiap alunan suaramu. Aku suka.
Kita bercakap di antara pantulan kaca-kaca jendela. Bercerita berbagai hal. Berbincang dalam kenyamanan. Bertatap dalam setiap kata yang terucapkan. Ketika akhirnya secangkir coklat akan selalu membuatku teringat akan kamu.
Kamu boleh sebut aku sebagai lelaki di masa depan yang datang ke masa ini hanya untuk menjemputmu dan membawamu berjalan menyusuri waktu dan hari-hari yang akan dilalui. Membawakan senyum yang akan menghiasi bibirmu setiap waktunya. Berpetualang menuju tempat ternyaman bagi kita berdua. Aku percaya bahwa semesta telah merancang ini semua. Semesta berkonspirasi menghadirkan pertemuan kita.
Sekarang, di sini, di seberang lautan, hujan, turun teramat deras, seperti kerinduan yang pekat dan berjatuhan bebas. Seperti hati yang ingin kembali lagi dan tak akan pernah pergi. Di balik secangkir kopi hitam, ada harap yang tak henti digumamkan. Mungkin kah nanti kita akan dapat lebih banyak menghabiskan waktu berdua? Berbagi banyak hal yang akan membuat kita tersenyum dan tertawa? Mungkin saja kita dapat menghabiskan malam di bawah bintang, di antara embusan udara malam, di antara hangatnya jemari yang saling menggenggam.
Aku masih ingat kata-katamu di suatu siang ketika aku memintamu berhati-hati saat kita bertemu, “Dari buku yang Aku baca, kata hati-hati itu sama dengan selamat. Dan selamat itu kata yang berkonotasi baik. Berarti Aku akan selamat ketemu kamu..” Lalu, apakah kamu selamat setelah bertemu diriku? Dan ikut terjatuh juga, sama seperti yang aku rasa?
Tiga hari adalah waktu dibutuhkan untuk menuliskan kalimat-kalimat ini, menyelipkan kerinduan yang pekat, yang berdesakkan di antara setiap spasi, berserakan di setiap sisi hati yang mendekap. Jika kamu melihat derai hujan, damainya langit senja, sejuknya langit pagi, hijaunya pepohonan, percayalah bahwa ada aku yang sedang menatapmu dari langit di ujung sana. Meski di tempat yang berbeda, kita menatap langit yang sama.
Aku akan kembali. Tunggu saja. Dan kini kusertakan peluk hangat untukmu di balik setiap kata yang tertuju ini.
Pada suatu pagi, kita akan bertemu mata, bertatap muka, saling menggenggam, dan berbicara tentang apa saja hingga malam.
Aku melangkah dalam cemas menujumu, di malam yang terasa sepi dan dingin, saat waktu seolah mempersulit perjumpaan kita. Aku membawa hujan di sela-sela jemariku, menggenggamnya erat untuk kemudian kutebarkan agar kita dapat bercanda di bawah derasnya. Dibalut hangatnya jaket merah, saat itu, aku melihat langit senja membias di matamu, di balik kacamata, dan kutemukan keteduhan di sana. Juga kedamaian di setiap alunan suaramu. Aku suka.
Kita bercakap di antara pantulan kaca-kaca jendela. Bercerita berbagai hal. Berbincang dalam kenyamanan. Bertatap dalam setiap kata yang terucapkan. Ketika akhirnya secangkir coklat akan selalu membuatku teringat akan kamu.
Kamu boleh sebut aku sebagai lelaki di masa depan yang datang ke masa ini hanya untuk menjemputmu dan membawamu berjalan menyusuri waktu dan hari-hari yang akan dilalui. Membawakan senyum yang akan menghiasi bibirmu setiap waktunya. Berpetualang menuju tempat ternyaman bagi kita berdua. Aku percaya bahwa semesta telah merancang ini semua. Semesta berkonspirasi menghadirkan pertemuan kita.
Sekarang, di sini, di seberang lautan, hujan, turun teramat deras, seperti kerinduan yang pekat dan berjatuhan bebas. Seperti hati yang ingin kembali lagi dan tak akan pernah pergi. Di balik secangkir kopi hitam, ada harap yang tak henti digumamkan. Mungkin kah nanti kita akan dapat lebih banyak menghabiskan waktu berdua? Berbagi banyak hal yang akan membuat kita tersenyum dan tertawa? Mungkin saja kita dapat menghabiskan malam di bawah bintang, di antara embusan udara malam, di antara hangatnya jemari yang saling menggenggam.
Aku masih ingat kata-katamu di suatu siang ketika aku memintamu berhati-hati saat kita bertemu, “Dari buku yang Aku baca, kata hati-hati itu sama dengan selamat. Dan selamat itu kata yang berkonotasi baik. Berarti Aku akan selamat ketemu kamu..” Lalu, apakah kamu selamat setelah bertemu diriku? Dan ikut terjatuh juga, sama seperti yang aku rasa?
Tiga hari adalah waktu dibutuhkan untuk menuliskan kalimat-kalimat ini, menyelipkan kerinduan yang pekat, yang berdesakkan di antara setiap spasi, berserakan di setiap sisi hati yang mendekap. Jika kamu melihat derai hujan, damainya langit senja, sejuknya langit pagi, hijaunya pepohonan, percayalah bahwa ada aku yang sedang menatapmu dari langit di ujung sana. Meski di tempat yang berbeda, kita menatap langit yang sama.
Aku akan kembali. Tunggu saja. Dan kini kusertakan peluk hangat untukmu di balik setiap kata yang tertuju ini.
Pada suatu pagi, kita akan bertemu mata, bertatap muka, saling menggenggam, dan berbicara tentang apa saja hingga malam.
Hey, Kamu.
Tunggu aku. Maukah?
Tunggu aku. Maukah?

Subscribe to:
Comments (Atom)